Thoughts

Mengapa Orang Indonesia Konsumtif?

By on May 28, 2010

Selama saya mengunjungi enam negara, saya seringkali memperhatikan apapun yang ada di negara tersebut. Mulai dari kebiasaan penduduk setempat sampai pada tata kotanya.

Satu hal yang cukup menggelitik sense of observation saya saat saya di luar negeri adalah saya memperhatikan taman yang ada di tiap negara. Semua negara yang saya kunjungi rata-rata memiliki taman kota yang asri, nyaman dan juga bersih.

Jerman, jangan ditanya lagi tentang taman kota di negara ini. Banyak sekali. Dan yang saya suka adalah, taman dengan rumput kecil-kecilnya teramat sangat bersih. Mau tiduran sambil baca buku di taman kota atau duduk-duduk sambil diskusi bersama grup kecil? Dua hal ini akan menjadi ritual yang sangat mengasikkan bagi saya.

Taman di Mann Heim-Jerman

Vietnam memiliki banyak sekali taman kota yang tersebar di penjuru kota Ho Chi Minh City. Maklum lah Vietnam kan bekas jajahan Perancis, jadi tata kotanya (menurut saya) “sangat Eropa”. Bagusnya Vietnam, mereka masih mampu melestarikan peninggalan sejarahnya dengan baik hingga saat ini. Jadi taman-taman kota yang ada di Vietnam sangat terjaga dengan apik.

Taman Kota di Ho Chi Minh City-Vietnam
Taman di depan opera house HCMC-Vietnam

Kamboja, negara yang bisa dikatakan masih termasuk dalam kategori negara tertinggal jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara yang lain juga memiliki taman kota yang bersih lho.  Di taman-taman kota tersebut banyak penduduk setempat yang duduk-duduk untuk melepaskan penat, ngobrol dengan teman-temannya, bercanda dan pacaran (lho? :D).

Taman di Phnom Penh-Kamboja

Thailand, saya hanya menyusuri old town saat berada di Bangkok. Seperti halnya negara yang lain, di beberapa spot ada taman kota yang asri dan bersih. Saya sempat duduk-duduk disana untuk melepaskan penat setelah keliling kota on foot. Di taman kota ini beberapa orang ada yang sedang jogging, mengajak jalan-jalan hewan peliharaanya, duduk-duduk sambil baca koran atau ngobrol dengan temannya dan pacaran (lho lagi :D).

Taman di Bangkok-Thailand

Singapore, untuk masalah kebersihan rasa-rasanya kita tidak perlu meragukan lagi bagaimana Singapura sangat menjaga hal ini. Dimana-mana seringkali saya temui plang dengan tulisan FINE: ….(sekian) dollar singapura jika kita membuang sampah sembarangan. Lho, lho. Lho kok malah ngomongin sampah sih? Saya kan mau ngomongin taman kota di Singapura. Okay, this is it.

Saat saya berjalan kaki menyusuri jalanan Singapura dari Orchad Road sampai ke Merlion Park dan sampai ke Clarke Quay (seriously, on foot!), saya mendapati banyak taman kota disana. Yang paling berkesan adalah saat malam hari saya duduk-duduk dan menikmati di taman kota yang ada di pinggir Singapore river, di depan The Fullerton Hotel dan Cavenagh bridge. Suasana yang tenang dan bersih serta pantulan lampu dari The Fullerton Hotel dan Cavenagh bridge membuat suasana menjadi romantis! Sungguh, nyaman sekali melewatkan waktu walaupun hanya duduk-duduk di taman kota itu.

Taman di Singapura

Saya jadi teringat dengan negara kita. Dimana ya saya menemui taman kota di Indonesia yang nyaman untuk menjalani “ritual-ritual” seperti itu? Saya rasa tidak ada. Apalagi di kota-kota besar yang ada di Indonesia, jarang sekali saya menemui ada taman kota. Kasihan banget ya negara kita. Saya rasa ini PR besar bagi Dinas … (apa ya?) pokoknya yang mengurusi tata kota plus taman kota deh.

Nah, terus apa hubungannya taman kota dengan judul di atas?

Jadi begini ya travelers’, negara-negara yang saya kunjungi notabene mempunyai taman kota, penduduknya bisa menghabiskan leisure time mereka dengan hanya sekedar duduk-duduk sambil ngobrol dengan teman-temannya di taman kota. Dan yang patut jadi perhatian adalah, hal itu gratis! Paling ngeluarin uang sedikit untuk beli jajan (cemilan).

Kalau di Indonesia? Karena kita nggak punya banyak taman kota, maka kebanyakan penduduk Indonesia menghabiskan waktu luang mereka untuk refreshing dengan jalan-jalan di mall, janjian ketemu sama teman di mall, pacaran di mall. Kalau sudah jalan-jalan ke mall, yang niat awalnya hanya window shopping aja, bisa jadi beli sesuatu. Selain itu, dengan sering ke mall dan melihat-lihat barang yang dijual membuat kita ingin membeli barang tersebut. Siklus ini tidak hanya terjadi sekali, tapi berulang kali. Hal inilah yang menurut saya menjadi salah satu alasan mengapa orang Indonesia menjadi konsumtif. Cukup bisa dipahami kan penjelasan saya?

Bogor, 28 Mei 2010 14:55

~Okvina Nur Alvita

Continue Reading

Cerita Traveling | Thoughts

Semangat Backpackernya Orang Bule

By on April 1, 2010

Masih dari rangkaian Asean Trip saya. Saat bulan Februari 2010 kemarin saya mengunjungi 5 negara Asean, pemandangan bule-bule muda, baik itu perempuan ataupun laki-laki yang menggendong carrier merupakan pemandangan sehari-hari saya. Sebagian besar dari mereka (yang berhasil saya ajak ngobrol) berasal dari negara-negara Eropa dan Amerika.
Saya awalnya berpikir bahwa bule-bule yang traveling ala backpacker itu hanya anak-anak mudanya saja. Tapi ternyata pikiran saya itu salah. Saat saya sedang sight seeing di Kuala Lumpur dan sedang menikmati roti telur (seperti roti canay, tapi ada campuran telurnya) di kantin stasiun (apa ya…? Saya lupa, pokoknya tempatnya di deket national mosque deh) saya melihat pemandangan yang lebih dari biasanya. Mau tahu apa?

backpacker

Saya melihat sepasang suami istri bule dengan anak yang berusia (mungkin) 7 dan 4 tahun. Mereka memasuki kantin tempat saya makan dan memesan beberapa menu makanan. But, you know, yang apa bikin spesial dari pemandangan itu? Mereka juga sedang traveling ala backpacker!! Orang tua kedua anak tersebut sama-sama menggendong carrier ukuran 75 liter!! Sedangkan anak yang berumur 7 tahun menggendong tas ransel (seperti tas ransel untuk ke sekolah) dan anak yang berumur 4 tahun digendong oleh sang ayah. Unbelievable!! Saya sampai melongo memperhatikan mereka saking takjubnya.

Kebayang nggak sih gimana ribetnya traveling sama anak kecil? Pasti riweuh banget kan? Harus nyediain space khusus untuk baju-baju mereka di carrier atau koper kita, terus kita juga harus ready dengan makanan dan minuman mereka tiap kali mereka mau makan. Masih belum lagi kalo anak-anak itu sedang rewel. Fiuuhh, jadi nggak bisa nikmatin jalan-jalannya kan? Tapi mereka mau melakukan semua itu dan mereka juga traveling ala backpacker (ransel), bukan ala suitcase (koper)! Salut deh untuk bule itu… 🙂
Saya jadi mengambil kesimpulan bahwa traveling ala backpacker merupakan salah satu habit orang bule. Apa yang saya alami itu, juga memberikan pemikiran baru dalam diri saya. Yaitu semua orang bisa traveling ke negara manapun yang dia inginkan walaupun itu dengan budget yang minim sekalipun. Entah itu orang muda, separuh baya, orang tua, orang kurus, orang gendut, orang yang lagi hamil, bahkan satu keluarga juga bisa traveling ala backpacker kalau mereka mau.
So tunggu apa lagi travelers, siapkan ranselmu dan pergilah ke tempat yang kamu inginkan. Hei, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena akan banyak pengalaman berharga yang telah menantimu disana. 🙂
Bogor, 31 Maret 2010 17:21
In the name of traveling,
~Okvina Nur ‘Ladies Traveler’ Alvita

Continue Reading

Thoughts

Mengapa Harus ke Luar Negeri?

By on March 28, 2010

“Ngapain sih buang-buang duit ke luar negeri? Di Indonesia juga banyak tempat bagus kok”

“Ngelilingi seluruh Indonesia aja belum, ngapain harus ke luar negeri?”
Komentar seperti itu sering saya dengar dari beberapa orang saat saya sedang semangat-semangatnya ‘mengompori’ mereka untuk merencanakan traveling ke luar negeri. Syukur-syukur kalau mau traveling ala ‘gembel’ bersama saya. Bahkan ada yang bilang begini ke saya.
“Aku nggak bakalan ke luar negeri kecuali hanya untuk naik haji atau umroh”
Saya tidak tahu apa alasan mendasar mereka sehingga tidak ingin pergi ke luar negeri. Kalau dari segi finansial sih rasanya bukan, karena yang bilang begitu rata-rata cukup mapan secara finansial. Cinta Indonesia? Mungkin. Tapi saya nggak yakin kecintaan mereka pada Indonesia melebihi saya (bangga nih ye… :D).
Memang, hanya sebagian kecil dari Indonesia yang sudah pernah saya jelajahi. Tapi itupun tidak mengurangi kecintaan saya pada Indonesia. Bisa dikatakan kalau saya salah satu orang Indonesia yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Saya salah seorang batik lovers, saya sedang berusaha untuk memakai produk-produk dalam negeri, dan saya juga gencar ‘mengompori’ kawan-kawan saya untuk memakai produk dalam negeri juga. Namun demikian, saya selalu tertarik untuk pergi ke luar negeri. Entah itu untuk program pertukaran pelajar, student conference, melanjutkan jenjang pendidikan ataupun sekedar traveling saja. Ada yang bilang kalau saya itu “luar negeri minded”. Tidak masalah bagi saya dengan sebutan itu karena saya memiliki beberapa alasan yang sangat make sense mengapa saya suka sekali dengan yang namanya luar negeri.

Travel the World dari http://www.muurkrant.nl

Saya akui, kalau hanya untuk menikmati alam dan ke tempat-tempat wisata saja, tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri. Indonesia tercinta kita ini memiliki semuanya. Laut yang biru, pantai dengan pasir yang putih bahkan pink, gunung, hutan dengan berbagai vegetasinya, air terjun, danau, ngarai, panorama bawah laut, semuanya ada di Indonesia. Salju? Ada kok, tapi musti naik gunung Jayawijaya dulu. Hehehe… :D. Selain kekayaan alam, apa lagi yang dimiliki oleh Indonesia? Ya pastilah kekayaan budayanya. Kita memiliki identitas sebagai suatu negara dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Kita sangat kaya dengan warisan budaya yang berbeda-beda dari Sabang sampai Merauke dan kita masih bisa mempertahankannya. Inilah yang menjadi salah satu daya tarik kita bagi wisatawan asing. Lalu kalau semuanya Indonesia sudah punya, mengapa masih harus ke luar negeri? Inilah yang akan saya jelaskan.

Mengapa saya suka sekali ke luar negeri? Karena banyak sekali yang saya pelajari saat saya ke luar negeri. Berikut ini adalah daftar alasannya.
1. Saya belajar memahami kebudayaan dan kebiasaan orang setempat. Saya memperhatikan bagaimana mereka bergaul, bagaimana mereka melakukan kegiatan sehari-hari dan bagaimana mereka beraktifitas. Semua hal itu tentunya berbeda dengan yang biasa dilakukan oleh orang Indonesia pada umumnya.
2. Saya belajar etos kerja negara lain. Saya belajar tentang bagaimana negara-negara maju sangat menghargai waktu dan bagaimana semuanya harus terjadwal dengan baik sekaligus dibarengi dengan disiplin yang tinggi.
3. Saya mengagumi “kemodern”-an negara yang lebih maju dari Indonesia dan selalu berpikir, kapan ya Indonesia bisa seperti itu? Ini bisa jadi pemicu bagi kita untuk berkotribusi demi kemajuan bangsa ini.
4. Saya bersyukur jadi orang Indonesia saat berada di negara yang dibawah (lebih miskin dari) Indonesia. Walaupun dengan semua permasalahan yang sedang membelenggu negeri kita tercinta ini, tapi saya bersyukur menjadi warga negara Indonesia, bukan warga negara lain.
5. Saya memperhatikan penduduk lokal dan ekspresi-ekspresi muka mereka. Saya suka sekali melihat wajah-wajah penduduk lokal dan ekspresi-ekpresi wajah yang mereka tunjukkan karena itu merupakan cerminan dari negara mereka.
6. Saya membandingkan apa yang negara lain punya dan apa yang tidak Indonesia punya serta bagaimana cara mereka (negara lain) meraih itu. Emang dasar saya orangnya suka memperhatikan segala sesuatu, sekecil apapun itu, saya jadi suka membandingkan Indonesia dengan negara yang saya kunjungi. Saya membandingkan Indonesia bukan untuk mengejek ketertinggalan kita, tapi untuk mencari tahu bagaimana caranya negara tersebut bisa meraih sesuatu yang kita belum mampu meraihnya?
7. Saya menjadi lebih bangga jadi orang Indonesia dengan semua keunikan yang dimiliki oleh Indonesia.
8. Di luar semua itu, banyak sekali pengalaman berharga yang akan kita dapat saat kita di luar negeri.
Intinya, ke luar negeri nggak hanya sekedar jalan-jalan, tapi otak dan pemikiran kita juga ikut “jalan-jalan”. It change our mind set and our point of view of life. Inilah yang mahal harganya dan tidak bisa dibayar dengan nominal angka, tapi dengan pemahaman yang lebih holistik tentang kehidupan.
Bogor, 27 Maret 2010 20:12
~Okvina Nur Alvita

Continue Reading

Asia | Cerita Traveling | Thoughts

Foto-Foto antara Turis Asia dengan Turis Bule

By on

Selama saya traveling terkadang saya memperhatikan turis-turis yang lain, terutama saat berada di tempat wisata. Karena pastinya banyak sekali turis-turis disana (tempat wisata) dan mereka berasal dari berbagai negara. Saya membagi mereka ke dalam dua kategori berdasarkan muka mereka (karena hanya ini yang paling bisa dibedakan), yaitu turis Asia dan turis Bule. Saya tidak bisa membagi lebih lanjut berdasarkan asal negara mereka karena susah banget kali… bule-bule itu kan rata-rata kulitnya putih, bermata biru dan hidungnya mancung. Sedangkan orang Asia, yah you know lah seperti apa.
Well, berdasarkan hasil pengamatan saya, ada dua perbedaan yang cukup mencolok antara turis bule dan turis Asia, terutama dalam urusan foto-foto. Mau tahu apa bedanya?
Perbedaan pertama, Turis Asia senang sekali berfoto-foto, begitupun juga dengan turis bule. Tapi objek yang difoto berbeda. Kalo turis Asia, lebih senang berfoto di depan objek yang dianggap menarik. Sedangkan turis bule, mereka lebih senang memfoto objek yag dianggap menarik. Ngerti nggak bedanya? Jadi kalo turis Asia itu, kalau foto-foto, harus selalu ada foto dirinya sendiri plus objek yang dianggap menarik, sedangkan turis bule, lebih suka memfoto objeknya aja, tanpa ada tambahan objek diri sendiri. Get it? Pinteerrr… 🙂
Perbedaan kedua, saat saya atau orang lain ingin memfoto sesuatu, dan kebetulan ada turis bule yang ingin lewat (jalan di depan saya), yang mana hal ini dapat menghalangi foto saya, mereka pasti mengalah untuk tidak lewat dulu dan mempersilahkan saya untuk take picture terlebih dahulu. Namun tidak demikian dengan turis Asia. Mereka langsung nyelonong aja lewat tanpa mau mengerti dan memperhatikan kepentingan orang lain, mereka cenderung tidak peduli apakah mereka akan mengganggu dan menghalangi orang lain untuk berfoto atau tidak.
Nggak perlu lah diperdebatkan mana yang lebih baik dalam dua perbedaan itu antara turis bule dengan turis Asia. Yang penting adalah mengambil esensi positifnya dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain.
Selamat traveling (bagi yang mau traveling) dan mulailah untuk “peka” pada lingkungan di sekitar kita… Okay travelers? 🙂
Bogor, 27 Maret 2010 22:27
~Okvina Nur Alvita

Continue Reading

Asia | Cerita Traveling | Thoughts

Selera Bule-Bule Itu…

By on March 24, 2010

Selama di perjalanan dari Kamboja menuju Thailand saya satu bus dengan turis-turis lain. Dan semuanya bule!! Hanya saya dan Nisun yang orang Asia. Mereka rata-rata couple, bikin saya iri… Kan enak kalau misalnya bisa traveling sama pasangan…

Anyway, di dalam bus ada dua orang yang traveling sendirian (nggak bawa pasangannya). Dan kebetulan dua-duanya cowok… Yeey, akhirnya ada yang bisa digebet! Bule yang satu orangnya nggak terlalu tinggi dan gendut, mukanya juga jauh dari kata cakep. Apalagi dia juga jenggotan. Huuh, bukan selera saya banget! Tapi yang satu lagi… Ayo, coba tebak… Cakep apa nggak? Nanti saja lah ya saya gambarkan bagaimana kondisi fisik dia. Yang pasti, saya dan bule ini menginap di hotel yang sama di Siam Reap-Kamboja, New Riverside Hotel namanya. 

Waktu itu, saya, Nisun dan bule itu sama-sama menunggu jemputan dari travel di lobby hotel. Jadwal keberangkatan kami jam 08.00. Sama halnya seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya, saya sudah harus stand by setengah jam sebelum jadwal keberangkatan karena biasanya kami akan dijemput beberapa menit sebelum jadwal yang telah ditentukan. Tapi travel yang sekarang ini ngaret. Sampai jam delapan lebih sepuluh menit, kami belum juga dijemput. Dan akhirnya jam delapan lewat dua puluh menit ada sebuah mobil sedan keluaran tahun 80-an datang menjemput kami. Saya, Nisun dan bule itu langsung menaruh barang-barang kami di bagasi. Karena carrier saya lumayan besar dan berat, dia membantu saya untuk melepaskan carrier dari punggung saya dan menaruhnya di bagasi mobil. Begitu juga yang dilakukannya saat kami sampai di pool bus. Dia membantu saya mengeluarkan carrier saya dari bagasi mobil sekaligus membantu memasangkan carrier ke punggung saya. Hmm, saya jadi agak melting dengan perlakuannya itu… :”)

By the way, di dalam bus dia memilih tempat duduk di samping saya. Maksud saya di seberang saya. Jadi begini, kondisi bus-nya itu bukan bus yang besar. Susunan tempat duduknya 2-1. Saya tentu saja duduk sebelahan dengan Nisun. Tapi posisi duduk saya di samping aisle dan Nisun yang disamping window dan bule itu duduknya di seberang tempat duduk saya. Jadi intinya masih disebelah saya kan? Apalagi mengingat kondisi bus yang kecil membuat gangnya jadi sempit juga.
Waktu di dalam bus sih kami tidak mengobrol sepatah kata pun karena ia langsung tidur. Nah, waktu di perbatasan Kamboja-Thailand yang mengharuskan kami mengurus per-imigrasi-an, kami mulai ngobrol karena antrian yang lumayan panjang. Dia ngantri di belakang saya setelah menaruh carrier-nya yang juga lumayan besar di dekat counter imigrasi. Saya memperhatikan dia. Lalu dia menyapa saya. (percakapan di bawah ini tentunya dalam bahasa Inggris)
“Hei, apa kamu nggak merasa berat menggendong terus carrier kamu seperti itu?”, tanya dia.
“Iya sih”, jawab saya singkat.
“Mau saya bantu untuk menaruhnya di dekat counter imigrasi?”
“Makasih, saya bisa melakukannya sendiri”, ujar saya sambil berlalu dan menaruh tas saya di dekat counter imigrasi. Setelah itu, saya kembali ke antrian saya.
“Kamu dari mana?”, tanyanya.
“Indonesia, dan kamu?”, saya balik bertanya.
“United States”
Saat dia bicara saya memperhatikan wajahnya dengan seksama. Ganteng juga, pikir saya. Rasanya saya seperti pernah melihat muka bule ini, tapi dimana ya? Saya coba ingat-ingat. Siapa ya? Saya mengingat-ngingat film-film yang pernah saya tonton. Dan akhirnya ingatan saya tertuju pada salah satu film yang dibintangi Sandra Bullock, The Proposal. Oh iya, dia mirip sama Ryan Reynolds! Yah, selevel dibawah Ryan Reynolds lah…soalnya saat itu kulitnya agak gosong, mungkin karena sinar matahari yang memanggang kulitnya saat traveling. Tapi kebayang dong gimana cakepnya dia… menyadari dia mirip Ryan Reynolds, saya langsung ancang-ancang untuk tebar pesona. Hihihi… 😀 yah, nggak apa-apa lah ya? Toh saya single ini… 😛
Lanjut ke obrolan saya.
“Di Amerika kamu tinggal dimana?”, tanya saya.
“California, dan kamu? Di Indonesia tinggal dimana?”
“Bogor, dekat dari Jakarta. Cuman satu jam dari Jakarta dengan kereta atau bus. Ini pertama kalinya kamu ke Thailand?”
“Nggak, saya sudah tiga kali ke Thailand dan lima kali ke Kamboja”
“Kamu pernah ke Indonesia nggak?”
“Belum, tapi saya ingin sekali kesana. Saya ingin surfing di Bali”
“Setelah dari Thailand kamu mau kemana? Langsung ke Indonesia saja kalo mau surfing”
“Saya juga ingin begitu, tapi saya harus pulang ke Amerika”
“Wah, sayang sekali…”, kata saya dengan nada kecewa.
“Ini untuk yang keberapa kalinya kamu ke Thailand?”, tanya dia.
“Ini pertama kalinya saya ke Thailand”.
“Kalau ke Kamboja?”
“Pertama kalinya juga saya ke Kamboja”
“Kamu kemana saja di Kamboja?”
“Saya hanya ke Phnom Penh dan Siam Reap”
“Gimana pendapatmu tentang Kamboja?”
“Jujur, saya tidak terlalu suka dengan Kamboja karena Kamboja sedikit membosankan”, aku saya. “Kalau menurut kamu gimana tentang Kamboja?”, tanya saya.
“Saya lebih suka Kamboja daripada Thailand”
“Oh ya”, komentar saya, surprise dengan jawaban dia.
“Anyway, berapa lama kamu traveling di Kamboja?”, tanya bule itu
“Nggak lama kok, cuman 5 hari, tiga hari di Phnom Penh dan dua hari di Siam Reap”, jawab saya sambil mikir, dia kok tertarik banget sih pengen tahu tentang Kamboja
“Di Phnom Penh kamu tinggal dimana?”.
Tuh kan bener, lagi-lagi dia nanya-nanya yang ada kaitannya sama Kamboja lagi. “Saya tinggal di rumah teman di dekat National Museum”.
“Ah, really? Kamu kenal nggak sama … (siapa ya? Saya lupa nama yang dia sebutkan)?”
“Nggak”, jawab saya singkat karena yang saya kenal di Kamboja hanya Mariam (host saya), Alex&Elen (traveler dari Rusia), Andrew (traveler dari US) dan Echo (traveler dari China).
“Dia tinggal di dekat National Museum juga. Dia pacar saya”, akunya.
Yah, dia sudah punya pacar. Berantakan deh rencana ngegebet! Huh, menyebalkan! 🙁 pantas saja dari tadi dia semangat banget ngorek-ngorek pendapat saya tentang Kamboja. Ternyata pacarnya orang Kamboja toh…
“Oh, saya tahu sekarang alasan mengapa kamu lebih suka Kamboja dibanding Thailand…”, ujar saya sambil tersenyum mengerti.
Dia juga senyum. Manis banget senyumnya, sayang sudah punya pacar. “Kalau cewek ini kamu tahu nggak?”, tanya dia sambil menunjukkan foto dari dompetnya. Foto seorang cewek yang sedang dipangku sama bule itu. Males banget saya ngelihatnya, apalagi dandanan cewek itu! Dandanan khas ‘ayam’ deh! Pake tank top plus celana jeans super ketat. Mukanya? Lebih cantik saya kemana-mana! Sama mbak-mbak penjual jamu gendong aja lebih cantik mbak-mbak yang jualan jamu gendong!
“Dia pacar saya”, lanjut dia.
“Oh, I don’t know”, jawab saya males-malesan. Dan tiba giliran saya mengurus imigrasi, bye bye deh ‘Ryan Reynolds’.
Selama di Kamboja saya sedikit-sedikit memperhatikan perilaku bule-bule yang sedang traveling disini. Terutama saat di Phnom Penh. Pernah suatu malam saya menikmati Phnom Penh hanya dengan duduk-duduk di tepi sungai Mekong. Saya memperhatikan aktivitas di sekitar sungai itu. Seperti di Indonesia, banyak sekali pedagang keliling yang menawarkan jajanannya. Entah apa yang mereka jual saya tidak tahu karena saya langsung menolak saat mereka hendak menawari saya. Beberapa penduduk lokal Kamboja dengan dandanan yang lumayan ‘ajib’ (menurut saya) juga tampak sedang menikmati suasana malam itu. Disana juga ada beberapa pasang cowok-cewek (couple), ada yang dua-duanya orang lokal, ada yang dua-duanya bule dan ada yang cowoknya bule sedangkan ceweknya penduduk lokal (sepertinya cewek-cewek itu sih ‘ayam’). Nah, untuk pasangan yang ketiga ini, cewek-cewek lokal yang jadi gandengan bule-bule itu nggak ada satupun yang cantik. Emang sih, orang asli Kamboja nggak ada yang cantik dan ganteng, dan dandanan mereka juga agak-agak kampungan gitu. Tapi bule-bule itu kok tetep aja mau ya? Heran saya. Entah selera mereka yang seperti itu atau mungkin karena memang gak ada yang lain yang lebih oke? I don’t know…
Bogor, 23 Maret 2010 20.20
~Okvina Nur Alvita

Continue Reading

Asia | Cerita Traveling | Thoughts

Jadi Backpacker Yuukkk… :)

By on March 20, 2010

Backpacker

Gak kerasa ternyata sudah 10 hari saya backpacking. Ternyata gini tho yang namanya jadi backpacker itu… Campur aduk rasanya! Ada seneng, sedih, capek, bingung, stress, bête, tapi yang pasti adalah amazing… Pengalaman backpacking pertama yang tidak akan pernah terlupakan pastinya… 🙂

Sebenarnya, jadi backpacker “bukan saya (Vina) banget”. Semua orang juga tahu, dengan style saya yang cewek banget dan feminin abis, rasanya semua orang juga akan meragukan saya jadi backpacker. Banyak banget komentar seperti ini:
“Hah, elo? Mo jalan-jalan ala backpacker?”
“Gak yakin gw orang kayak lo mau jalan-jalan ngegembel!”
“Kalo cewek lain yang jadi backpacker sih gw percaya, tapi lo??”
Jujur, saya juga awalnya juga meragukan diri sendiri… Apa iya ya saya bisa??
Adalah Irvan yang memperkenalkan plus “mengotaki” saya pada dunia perbackpackeran. Waktu itu, kami, sesama mahasiswa duafa, tapi tetep pengen jalan-jalan, merencanakan untuk keliling Jawa-Bali-Lombok. Tapi saya berpikir, dengan budget yang sama tinggal nambahin dikit, kenapa nggak sekalian keliling Asean aja? Toh sekarang berkat “kebaikan” salah satu maskapai penerbangan, semua orang bisa terbang kemanapun dia mau kan?
Anyway, saya waktu ngusulin Asean trip ke Irvan, yang terpikirkan hanyalah mengunjungi 3 negara saja (Thailand, Malaysia dan Singapore). Tapi “gilanya” Irvan malah merencanakan backpacking ke 5 negara sekaligus! Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Singapore. Saya hanya bisa mengiyakan, walaupun agak ragu juga sih… Ragu apakah budget segitu cukup untuk semua kebutuhan pokok selama traveling. Tapi setelah survey + searching sana-sini, saya jadi yakin kalau budget segitu cukup pas banget. Jadilah rencana “gila” (menurut sebagian orang) ini semakin matang. Saya awalnya yakin banget karena saya akan pergi dengan Irvan yang mengerti sekali tentang seluk beluk perbackpackeran. Tapi di akhir-akhir tanggal keberangkatan yang telah ditentukan, Irvan mengundurkan diri, yang artinya adalah saya harus fight sendiri dengan semua yang sudah terencana.
Jujur, saya awam sekali dengan yang namanya “budget traveling” semacam ini. Bisa dikatakan kalau saya nekat “menceburkan diri” di dunia yang sangat baru bagi saya. Terlebih lagi, saya yakin, bahkan teramat sangat yakin sekali kalau hanya 0,0000… sekian orang Indonesia yang cukup punya keberanian untuk melakukan budget traveling. Dan saya “terpaksa” untuk masuk di dalamnya.
Sebelum menjalani backpacking pertama saya, saya sempat merasakan yang namanya was-was dan takut. Tapi yang terpenting adalah bagaimana cara kita untuk mengatasi rasa takut yang ada pada diri sendiri. Dan ternyata saya bisa juga ya jalan-jalan ala “ransel” 🙂
Bangkok, 13 Februari 2010
~Okvina Nur Alvita

Continue Reading