Thoughts

Mengapa Harus ke Luar Negeri?

By on March 28, 2010

“Ngapain sih buang-buang duit ke luar negeri? Di Indonesia juga banyak tempat bagus kok”

“Ngelilingi seluruh Indonesia aja belum, ngapain harus ke luar negeri?”
Komentar seperti itu sering saya dengar dari beberapa orang saat saya sedang semangat-semangatnya ‘mengompori’ mereka untuk merencanakan traveling ke luar negeri. Syukur-syukur kalau mau traveling ala ‘gembel’ bersama saya. Bahkan ada yang bilang begini ke saya.
“Aku nggak bakalan ke luar negeri kecuali hanya untuk naik haji atau umroh”
Saya tidak tahu apa alasan mendasar mereka sehingga tidak ingin pergi ke luar negeri. Kalau dari segi finansial sih rasanya bukan, karena yang bilang begitu rata-rata cukup mapan secara finansial. Cinta Indonesia? Mungkin. Tapi saya nggak yakin kecintaan mereka pada Indonesia melebihi saya (bangga nih ye… :D).
Memang, hanya sebagian kecil dari Indonesia yang sudah pernah saya jelajahi. Tapi itupun tidak mengurangi kecintaan saya pada Indonesia. Bisa dikatakan kalau saya salah satu orang Indonesia yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Saya salah seorang batik lovers, saya sedang berusaha untuk memakai produk-produk dalam negeri, dan saya juga gencar ‘mengompori’ kawan-kawan saya untuk memakai produk dalam negeri juga. Namun demikian, saya selalu tertarik untuk pergi ke luar negeri. Entah itu untuk program pertukaran pelajar, student conference, melanjutkan jenjang pendidikan ataupun sekedar traveling saja. Ada yang bilang kalau saya itu “luar negeri minded”. Tidak masalah bagi saya dengan sebutan itu karena saya memiliki beberapa alasan yang sangat make sense mengapa saya suka sekali dengan yang namanya luar negeri.

Travel the World dari http://www.muurkrant.nl

Saya akui, kalau hanya untuk menikmati alam dan ke tempat-tempat wisata saja, tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri. Indonesia tercinta kita ini memiliki semuanya. Laut yang biru, pantai dengan pasir yang putih bahkan pink, gunung, hutan dengan berbagai vegetasinya, air terjun, danau, ngarai, panorama bawah laut, semuanya ada di Indonesia. Salju? Ada kok, tapi musti naik gunung Jayawijaya dulu. Hehehe… :D. Selain kekayaan alam, apa lagi yang dimiliki oleh Indonesia? Ya pastilah kekayaan budayanya. Kita memiliki identitas sebagai suatu negara dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Kita sangat kaya dengan warisan budaya yang berbeda-beda dari Sabang sampai Merauke dan kita masih bisa mempertahankannya. Inilah yang menjadi salah satu daya tarik kita bagi wisatawan asing. Lalu kalau semuanya Indonesia sudah punya, mengapa masih harus ke luar negeri? Inilah yang akan saya jelaskan.

Mengapa saya suka sekali ke luar negeri? Karena banyak sekali yang saya pelajari saat saya ke luar negeri. Berikut ini adalah daftar alasannya.
1. Saya belajar memahami kebudayaan dan kebiasaan orang setempat. Saya memperhatikan bagaimana mereka bergaul, bagaimana mereka melakukan kegiatan sehari-hari dan bagaimana mereka beraktifitas. Semua hal itu tentunya berbeda dengan yang biasa dilakukan oleh orang Indonesia pada umumnya.
2. Saya belajar etos kerja negara lain. Saya belajar tentang bagaimana negara-negara maju sangat menghargai waktu dan bagaimana semuanya harus terjadwal dengan baik sekaligus dibarengi dengan disiplin yang tinggi.
3. Saya mengagumi “kemodern”-an negara yang lebih maju dari Indonesia dan selalu berpikir, kapan ya Indonesia bisa seperti itu? Ini bisa jadi pemicu bagi kita untuk berkotribusi demi kemajuan bangsa ini.
4. Saya bersyukur jadi orang Indonesia saat berada di negara yang dibawah (lebih miskin dari) Indonesia. Walaupun dengan semua permasalahan yang sedang membelenggu negeri kita tercinta ini, tapi saya bersyukur menjadi warga negara Indonesia, bukan warga negara lain.
5. Saya memperhatikan penduduk lokal dan ekspresi-ekspresi muka mereka. Saya suka sekali melihat wajah-wajah penduduk lokal dan ekspresi-ekpresi wajah yang mereka tunjukkan karena itu merupakan cerminan dari negara mereka.
6. Saya membandingkan apa yang negara lain punya dan apa yang tidak Indonesia punya serta bagaimana cara mereka (negara lain) meraih itu. Emang dasar saya orangnya suka memperhatikan segala sesuatu, sekecil apapun itu, saya jadi suka membandingkan Indonesia dengan negara yang saya kunjungi. Saya membandingkan Indonesia bukan untuk mengejek ketertinggalan kita, tapi untuk mencari tahu bagaimana caranya negara tersebut bisa meraih sesuatu yang kita belum mampu meraihnya?
7. Saya menjadi lebih bangga jadi orang Indonesia dengan semua keunikan yang dimiliki oleh Indonesia.
8. Di luar semua itu, banyak sekali pengalaman berharga yang akan kita dapat saat kita di luar negeri.
Intinya, ke luar negeri nggak hanya sekedar jalan-jalan, tapi otak dan pemikiran kita juga ikut “jalan-jalan”. It change our mind set and our point of view of life. Inilah yang mahal harganya dan tidak bisa dibayar dengan nominal angka, tapi dengan pemahaman yang lebih holistik tentang kehidupan.
Bogor, 27 Maret 2010 20:12
~Okvina Nur Alvita

Continue Reading

Asia | Cerita Traveling | Thoughts

Foto-Foto antara Turis Asia dengan Turis Bule

By on

Selama saya traveling terkadang saya memperhatikan turis-turis yang lain, terutama saat berada di tempat wisata. Karena pastinya banyak sekali turis-turis disana (tempat wisata) dan mereka berasal dari berbagai negara. Saya membagi mereka ke dalam dua kategori berdasarkan muka mereka (karena hanya ini yang paling bisa dibedakan), yaitu turis Asia dan turis Bule. Saya tidak bisa membagi lebih lanjut berdasarkan asal negara mereka karena susah banget kali… bule-bule itu kan rata-rata kulitnya putih, bermata biru dan hidungnya mancung. Sedangkan orang Asia, yah you know lah seperti apa.
Well, berdasarkan hasil pengamatan saya, ada dua perbedaan yang cukup mencolok antara turis bule dan turis Asia, terutama dalam urusan foto-foto. Mau tahu apa bedanya?
Perbedaan pertama, Turis Asia senang sekali berfoto-foto, begitupun juga dengan turis bule. Tapi objek yang difoto berbeda. Kalo turis Asia, lebih senang berfoto di depan objek yang dianggap menarik. Sedangkan turis bule, mereka lebih senang memfoto objek yag dianggap menarik. Ngerti nggak bedanya? Jadi kalo turis Asia itu, kalau foto-foto, harus selalu ada foto dirinya sendiri plus objek yang dianggap menarik, sedangkan turis bule, lebih suka memfoto objeknya aja, tanpa ada tambahan objek diri sendiri. Get it? Pinteerrr… 🙂
Perbedaan kedua, saat saya atau orang lain ingin memfoto sesuatu, dan kebetulan ada turis bule yang ingin lewat (jalan di depan saya), yang mana hal ini dapat menghalangi foto saya, mereka pasti mengalah untuk tidak lewat dulu dan mempersilahkan saya untuk take picture terlebih dahulu. Namun tidak demikian dengan turis Asia. Mereka langsung nyelonong aja lewat tanpa mau mengerti dan memperhatikan kepentingan orang lain, mereka cenderung tidak peduli apakah mereka akan mengganggu dan menghalangi orang lain untuk berfoto atau tidak.
Nggak perlu lah diperdebatkan mana yang lebih baik dalam dua perbedaan itu antara turis bule dengan turis Asia. Yang penting adalah mengambil esensi positifnya dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain.
Selamat traveling (bagi yang mau traveling) dan mulailah untuk “peka” pada lingkungan di sekitar kita… Okay travelers? 🙂
Bogor, 27 Maret 2010 22:27
~Okvina Nur Alvita

Continue Reading

Asia | Cerita Traveling | Thoughts

Selera Bule-Bule Itu…

By on March 24, 2010

Selama di perjalanan dari Kamboja menuju Thailand saya satu bus dengan turis-turis lain. Dan semuanya bule!! Hanya saya dan Nisun yang orang Asia. Mereka rata-rata couple, bikin saya iri… Kan enak kalau misalnya bisa traveling sama pasangan…

Anyway, di dalam bus ada dua orang yang traveling sendirian (nggak bawa pasangannya). Dan kebetulan dua-duanya cowok… Yeey, akhirnya ada yang bisa digebet! Bule yang satu orangnya nggak terlalu tinggi dan gendut, mukanya juga jauh dari kata cakep. Apalagi dia juga jenggotan. Huuh, bukan selera saya banget! Tapi yang satu lagi… Ayo, coba tebak… Cakep apa nggak? Nanti saja lah ya saya gambarkan bagaimana kondisi fisik dia. Yang pasti, saya dan bule ini menginap di hotel yang sama di Siam Reap-Kamboja, New Riverside Hotel namanya. 

Waktu itu, saya, Nisun dan bule itu sama-sama menunggu jemputan dari travel di lobby hotel. Jadwal keberangkatan kami jam 08.00. Sama halnya seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya, saya sudah harus stand by setengah jam sebelum jadwal keberangkatan karena biasanya kami akan dijemput beberapa menit sebelum jadwal yang telah ditentukan. Tapi travel yang sekarang ini ngaret. Sampai jam delapan lebih sepuluh menit, kami belum juga dijemput. Dan akhirnya jam delapan lewat dua puluh menit ada sebuah mobil sedan keluaran tahun 80-an datang menjemput kami. Saya, Nisun dan bule itu langsung menaruh barang-barang kami di bagasi. Karena carrier saya lumayan besar dan berat, dia membantu saya untuk melepaskan carrier dari punggung saya dan menaruhnya di bagasi mobil. Begitu juga yang dilakukannya saat kami sampai di pool bus. Dia membantu saya mengeluarkan carrier saya dari bagasi mobil sekaligus membantu memasangkan carrier ke punggung saya. Hmm, saya jadi agak melting dengan perlakuannya itu… :”)

By the way, di dalam bus dia memilih tempat duduk di samping saya. Maksud saya di seberang saya. Jadi begini, kondisi bus-nya itu bukan bus yang besar. Susunan tempat duduknya 2-1. Saya tentu saja duduk sebelahan dengan Nisun. Tapi posisi duduk saya di samping aisle dan Nisun yang disamping window dan bule itu duduknya di seberang tempat duduk saya. Jadi intinya masih disebelah saya kan? Apalagi mengingat kondisi bus yang kecil membuat gangnya jadi sempit juga.
Waktu di dalam bus sih kami tidak mengobrol sepatah kata pun karena ia langsung tidur. Nah, waktu di perbatasan Kamboja-Thailand yang mengharuskan kami mengurus per-imigrasi-an, kami mulai ngobrol karena antrian yang lumayan panjang. Dia ngantri di belakang saya setelah menaruh carrier-nya yang juga lumayan besar di dekat counter imigrasi. Saya memperhatikan dia. Lalu dia menyapa saya. (percakapan di bawah ini tentunya dalam bahasa Inggris)
“Hei, apa kamu nggak merasa berat menggendong terus carrier kamu seperti itu?”, tanya dia.
“Iya sih”, jawab saya singkat.
“Mau saya bantu untuk menaruhnya di dekat counter imigrasi?”
“Makasih, saya bisa melakukannya sendiri”, ujar saya sambil berlalu dan menaruh tas saya di dekat counter imigrasi. Setelah itu, saya kembali ke antrian saya.
“Kamu dari mana?”, tanyanya.
“Indonesia, dan kamu?”, saya balik bertanya.
“United States”
Saat dia bicara saya memperhatikan wajahnya dengan seksama. Ganteng juga, pikir saya. Rasanya saya seperti pernah melihat muka bule ini, tapi dimana ya? Saya coba ingat-ingat. Siapa ya? Saya mengingat-ngingat film-film yang pernah saya tonton. Dan akhirnya ingatan saya tertuju pada salah satu film yang dibintangi Sandra Bullock, The Proposal. Oh iya, dia mirip sama Ryan Reynolds! Yah, selevel dibawah Ryan Reynolds lah…soalnya saat itu kulitnya agak gosong, mungkin karena sinar matahari yang memanggang kulitnya saat traveling. Tapi kebayang dong gimana cakepnya dia… menyadari dia mirip Ryan Reynolds, saya langsung ancang-ancang untuk tebar pesona. Hihihi… 😀 yah, nggak apa-apa lah ya? Toh saya single ini… 😛
Lanjut ke obrolan saya.
“Di Amerika kamu tinggal dimana?”, tanya saya.
“California, dan kamu? Di Indonesia tinggal dimana?”
“Bogor, dekat dari Jakarta. Cuman satu jam dari Jakarta dengan kereta atau bus. Ini pertama kalinya kamu ke Thailand?”
“Nggak, saya sudah tiga kali ke Thailand dan lima kali ke Kamboja”
“Kamu pernah ke Indonesia nggak?”
“Belum, tapi saya ingin sekali kesana. Saya ingin surfing di Bali”
“Setelah dari Thailand kamu mau kemana? Langsung ke Indonesia saja kalo mau surfing”
“Saya juga ingin begitu, tapi saya harus pulang ke Amerika”
“Wah, sayang sekali…”, kata saya dengan nada kecewa.
“Ini untuk yang keberapa kalinya kamu ke Thailand?”, tanya dia.
“Ini pertama kalinya saya ke Thailand”.
“Kalau ke Kamboja?”
“Pertama kalinya juga saya ke Kamboja”
“Kamu kemana saja di Kamboja?”
“Saya hanya ke Phnom Penh dan Siam Reap”
“Gimana pendapatmu tentang Kamboja?”
“Jujur, saya tidak terlalu suka dengan Kamboja karena Kamboja sedikit membosankan”, aku saya. “Kalau menurut kamu gimana tentang Kamboja?”, tanya saya.
“Saya lebih suka Kamboja daripada Thailand”
“Oh ya”, komentar saya, surprise dengan jawaban dia.
“Anyway, berapa lama kamu traveling di Kamboja?”, tanya bule itu
“Nggak lama kok, cuman 5 hari, tiga hari di Phnom Penh dan dua hari di Siam Reap”, jawab saya sambil mikir, dia kok tertarik banget sih pengen tahu tentang Kamboja
“Di Phnom Penh kamu tinggal dimana?”.
Tuh kan bener, lagi-lagi dia nanya-nanya yang ada kaitannya sama Kamboja lagi. “Saya tinggal di rumah teman di dekat National Museum”.
“Ah, really? Kamu kenal nggak sama … (siapa ya? Saya lupa nama yang dia sebutkan)?”
“Nggak”, jawab saya singkat karena yang saya kenal di Kamboja hanya Mariam (host saya), Alex&Elen (traveler dari Rusia), Andrew (traveler dari US) dan Echo (traveler dari China).
“Dia tinggal di dekat National Museum juga. Dia pacar saya”, akunya.
Yah, dia sudah punya pacar. Berantakan deh rencana ngegebet! Huh, menyebalkan! 🙁 pantas saja dari tadi dia semangat banget ngorek-ngorek pendapat saya tentang Kamboja. Ternyata pacarnya orang Kamboja toh…
“Oh, saya tahu sekarang alasan mengapa kamu lebih suka Kamboja dibanding Thailand…”, ujar saya sambil tersenyum mengerti.
Dia juga senyum. Manis banget senyumnya, sayang sudah punya pacar. “Kalau cewek ini kamu tahu nggak?”, tanya dia sambil menunjukkan foto dari dompetnya. Foto seorang cewek yang sedang dipangku sama bule itu. Males banget saya ngelihatnya, apalagi dandanan cewek itu! Dandanan khas ‘ayam’ deh! Pake tank top plus celana jeans super ketat. Mukanya? Lebih cantik saya kemana-mana! Sama mbak-mbak penjual jamu gendong aja lebih cantik mbak-mbak yang jualan jamu gendong!
“Dia pacar saya”, lanjut dia.
“Oh, I don’t know”, jawab saya males-malesan. Dan tiba giliran saya mengurus imigrasi, bye bye deh ‘Ryan Reynolds’.
Selama di Kamboja saya sedikit-sedikit memperhatikan perilaku bule-bule yang sedang traveling disini. Terutama saat di Phnom Penh. Pernah suatu malam saya menikmati Phnom Penh hanya dengan duduk-duduk di tepi sungai Mekong. Saya memperhatikan aktivitas di sekitar sungai itu. Seperti di Indonesia, banyak sekali pedagang keliling yang menawarkan jajanannya. Entah apa yang mereka jual saya tidak tahu karena saya langsung menolak saat mereka hendak menawari saya. Beberapa penduduk lokal Kamboja dengan dandanan yang lumayan ‘ajib’ (menurut saya) juga tampak sedang menikmati suasana malam itu. Disana juga ada beberapa pasang cowok-cewek (couple), ada yang dua-duanya orang lokal, ada yang dua-duanya bule dan ada yang cowoknya bule sedangkan ceweknya penduduk lokal (sepertinya cewek-cewek itu sih ‘ayam’). Nah, untuk pasangan yang ketiga ini, cewek-cewek lokal yang jadi gandengan bule-bule itu nggak ada satupun yang cantik. Emang sih, orang asli Kamboja nggak ada yang cantik dan ganteng, dan dandanan mereka juga agak-agak kampungan gitu. Tapi bule-bule itu kok tetep aja mau ya? Heran saya. Entah selera mereka yang seperti itu atau mungkin karena memang gak ada yang lain yang lebih oke? I don’t know…
Bogor, 23 Maret 2010 20.20
~Okvina Nur Alvita

Continue Reading

Asia | Cerita Traveling

You’re a Good Moslem

By on March 21, 2010

Masih dari cerita jalan-jalan saya selama Asean trip.
Hari ketiga, tepatnya 5 Februari 2010 saya ikut tur yang sudah saya booking sehari sebelumnya. One day tour ini mengunjungi 2 tempat, cu chi tunnel dan cao dai temple.
“Jangan bilang sudah pernah ke Ho Chi Minh City kalo belum ke cu chi tunnel”, begitu kata salah satu artikel yang saya baca. Hal inilah yang mendasari saya untuk ambil paket tur sehari ini. Sebenarnya paket tur menyusuri Mekong delta juga asik, kita akan dibawa naik perahu menyusuri sungai Mekong dan melihat keseharian para petani Vietnam plus makan siang di atas perahu. Tapi kalo cuman gitu doing mah, ngapain jauh-jauh ke Vietnam, di Indonesia juga banyak, terlebih lagi alasan yang paling mendasar adalah atas nama PENGIRITAN! (harga tur ke Mekong delta lebih mahal daripada ke cu chi tunnel) Hahaha, dasar backpacker gembel! 😀
Anyway, paket tur ini dimulai jam 08.00, tapi kami sudah harus stand by jam 07.30. Kalo saat tur seperti ini, gak ada deh yang namanya jam karet! Kebiasaan kita, orang Indonesia yang suka ngaret sebaiknya jangan dibawa-bawa ke luar negeri ya. Malu-maluin nama Indonesia kalo kita ngaret juga di negara orang. Apalagi yang ikut tur kan nggak cuman kita saja, ada banyak orang yang pastinya berasal dari berbagai negara di dunia.
Kurang dari setengah tujuh, saya dan Nisun sudah siap di ruang tunggu travel agent. Hampir pukul delapan, salah seorang pegawai travel agent mengantar kami menuju bus. Di dalam bus sudah ada beberapa orang lain yang juga ikut tur, tapi busnya nggak langsung berangkat karena masih harus menunggu turis lain yang belum datang. Sampai pukul delapan lebih, bus juga belum berangkat padahal kondisi bus sudah hampir penuh. Ternyata, kami harus menunggu 3 cowok Italy yang telat! Dasar anak muda! Hehehe, emangnya saya juga bukan anak muda apa? Setelah 3 cowok Italy itu masuk, perjalanan dimulai… 🙂
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Cao Dai Temple. Temple ini merupakan tempat peribadatan salah satu agama yang mulai berkembang di Vietnam, Cao Dai. Kami sampai di Cao Dai hampir pukul 12 siang, persis sebelum afternoon services dimulai. Tour guide hanya memberi kami waktu sampai pukul 12.30 untuk melihat afternoon services, dan artinya pukul setengah satu kami sudah harus stand by lagi di bus. Saya dan Nisun on time duoong karena kami ingin memberi citra baik tentang orang Indonesia di mata turis lain. Tapi sampai pukul 12.40, bus nggak berangkat-berangkat juga, ternyata eh ternyata kami masih menunggu tiga cowok Italy yang tadi pagi telat itu… Hufffttt… Akhirnya, si tour guide bilang “kalau dalam 5 menit lagi mereka nggak datang juga, kita tinggal aja mereka!”. 5 menit kemudian mereka nggak datang-datang juga, dan seperti kata tour guide, mereka kita tinggalin… hehehe… bubye… 😛
Tempat kedua yang kami kunjungi adalah cu chi tunnel. Di tempat ini kita diperlihatkan bagaimana cara tentara Vietnam pada zaman dulu untuk melawan penjajah. Kita dibawa trekking ke dalam hutan untuk bisa melihat secara langsung beberapa bukti otentik cara-cara tentara Vietnam melawan penjajah sekaligus cara mereka mempertahankan diri. Di tenga-tengah trekking, ada seorang turis cewek (yang satu rombongan dengan saya) nyamperin saya. Orangnya cantik, putih, mukanya paduan antara muka bule dan muka Arab.
Dia tiba-tiba bilang, “You are a good Moslem”.
“How do you know?”, tanya saya.
“Because you’re still wearing your scarf whereas the weather is very hot in here”.
“Oohh”, hanya itu yang mampu saya katakan.
“I come from Iran and I wear scarf too in Iran, but in here I, my sister in law, and my mother (sambil nunjuk dua turis lain) didn’t wear it because it’s too hot in here”.
“Ohh, ya…”, saya speechless tapi saya mikir, bukannya di Iran malah lebih panas ya? Kan Iran termasuk negara middle east.
Lalu, ibunya cewek Iran itu nyamperin saya dan Nisun terus dia bilang, “You and you too, are a good moslem, not like me. I wear scarf too but in here I take it off”.
“Actually, Vietnam has the same weather with Indonesia, so it’s no problem for us to still wearing scarf in here”, ujar saya untuk merendah, tapi menaikkan mutu. Hehehe… 🙂 Padahal sebenarnya sih, kalau kita sudah memutuskan untuk pakai kerudung, ya harus dipakai terus lah, dalam kondisi apapun itu, panas, dingin, hujan, badai (halah, lebay!), bahkan pakaian renang pun sekarang kan sudah banyak yang di disain untuk wanita muslim kan? (lho, kok ujug-ujug malah ngebahas baju renang??)
Sekitar jam empat trekking kami selesai dan kami harus kembali melanjutkan perjalanan ke HCMC. Dalam perjalanan itu, saya ingat kalau saya belum sholat dzuhur dan ashar. Saya kan musafir, jadi boleh kan sholatnya di-jama’. Saya pun sholat di dalam bus dalam keadaan duduk. Oh ya, saya melakukan sholat saat penumpang yang lain sudah tidur karena takut mengundang perhatian yang nggak penting. Ketika saya sholat saya merasa ada yang sedang memperhatikan saya. Ya, siapa lagi kalau bukan ketiga orang Iran itu yang memperhatikan saya sholat (kebetulan mereka duduk di belakang saya). Saya tahu saat saya melakukan salam untuk mengakhiri sholat. Ketika saya menoleh ke kanan dan ke kiri sambil mengucapkan salam, mereka (terutama ibunya) memperhatikan saya dengan seksama, tapi mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Pas sudah sampai di HCMC, kami, para turis yang satu rombongan saling berpisah karena hotel yang berbeda-beda. Sebelum berpisah dengan orang Iran itu, si ibu sempat mengucapkan “You’re a good Moslem” lagi pada saya dan Nisun.
Moral of this story:
1.      Kebiasaan ngaret jangan di bawa-bawa ke negeri orang, jaga nama baik Indonesia.
2.      Dimanapun kita berada dan kapanpun itu, jagalah dengan baik identitas kita. Kalau kita seorang muslim dan pakai kerudung, jangan karena masalah panas lalu kita memutuskan untuk nggak pakai kerudung saat itu. Justru orang akan sangat mengapresiasi kita yang tetap teguh pada pendirian.
3.      Bagi yang muslim dan non-muslim, walaupun sedang traveling, jangan lupa untuk tetap menjalankan ibadah ya… 🙂
Bogor, 21 Maret 2010 13:12
~Okvina Nur Alvita

Continue Reading

Asia | Cerita Traveling | Thoughts

Jadi Backpacker Yuukkk… :)

By on March 20, 2010

Backpacker

Gak kerasa ternyata sudah 10 hari saya backpacking. Ternyata gini tho yang namanya jadi backpacker itu… Campur aduk rasanya! Ada seneng, sedih, capek, bingung, stress, bête, tapi yang pasti adalah amazing… Pengalaman backpacking pertama yang tidak akan pernah terlupakan pastinya… 🙂

Sebenarnya, jadi backpacker “bukan saya (Vina) banget”. Semua orang juga tahu, dengan style saya yang cewek banget dan feminin abis, rasanya semua orang juga akan meragukan saya jadi backpacker. Banyak banget komentar seperti ini:
“Hah, elo? Mo jalan-jalan ala backpacker?”
“Gak yakin gw orang kayak lo mau jalan-jalan ngegembel!”
“Kalo cewek lain yang jadi backpacker sih gw percaya, tapi lo??”
Jujur, saya juga awalnya juga meragukan diri sendiri… Apa iya ya saya bisa??
Adalah Irvan yang memperkenalkan plus “mengotaki” saya pada dunia perbackpackeran. Waktu itu, kami, sesama mahasiswa duafa, tapi tetep pengen jalan-jalan, merencanakan untuk keliling Jawa-Bali-Lombok. Tapi saya berpikir, dengan budget yang sama tinggal nambahin dikit, kenapa nggak sekalian keliling Asean aja? Toh sekarang berkat “kebaikan” salah satu maskapai penerbangan, semua orang bisa terbang kemanapun dia mau kan?
Anyway, saya waktu ngusulin Asean trip ke Irvan, yang terpikirkan hanyalah mengunjungi 3 negara saja (Thailand, Malaysia dan Singapore). Tapi “gilanya” Irvan malah merencanakan backpacking ke 5 negara sekaligus! Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Singapore. Saya hanya bisa mengiyakan, walaupun agak ragu juga sih… Ragu apakah budget segitu cukup untuk semua kebutuhan pokok selama traveling. Tapi setelah survey + searching sana-sini, saya jadi yakin kalau budget segitu cukup pas banget. Jadilah rencana “gila” (menurut sebagian orang) ini semakin matang. Saya awalnya yakin banget karena saya akan pergi dengan Irvan yang mengerti sekali tentang seluk beluk perbackpackeran. Tapi di akhir-akhir tanggal keberangkatan yang telah ditentukan, Irvan mengundurkan diri, yang artinya adalah saya harus fight sendiri dengan semua yang sudah terencana.
Jujur, saya awam sekali dengan yang namanya “budget traveling” semacam ini. Bisa dikatakan kalau saya nekat “menceburkan diri” di dunia yang sangat baru bagi saya. Terlebih lagi, saya yakin, bahkan teramat sangat yakin sekali kalau hanya 0,0000… sekian orang Indonesia yang cukup punya keberanian untuk melakukan budget traveling. Dan saya “terpaksa” untuk masuk di dalamnya.
Sebelum menjalani backpacking pertama saya, saya sempat merasakan yang namanya was-was dan takut. Tapi yang terpenting adalah bagaimana cara kita untuk mengatasi rasa takut yang ada pada diri sendiri. Dan ternyata saya bisa juga ya jalan-jalan ala “ransel” 🙂
Bangkok, 13 Februari 2010
~Okvina Nur Alvita

Continue Reading

Asia | Cerita Traveling

Dikelabui Tukang Becak (Cyclo) di Ho Chi Minh City, Vietnam

By on
Hari kedua di Vietnam, pastinya saya tidak mau buang-buang waktu dong… Saya rencanakan untuk explore HCMC dengan bus atau jalan kaki. Dari info di internet yang saya dapat, saya harus ke Ben Than Market dulu, disana ada banyak petugas tourism pake seragam warna hijau yang helpful banget dan akan ngasih peta HCMC gratis ke para turis, so saya bisa explore sendiri HCMC dan biar berasa “backpacker”-nya… 🙂
Jam 07.30 saya turun ke receptionist hotel, saya nanya tentang internet service dan mereka bilang kalau internet gratis buat tamu hotel ini. Karena nggak mau rugi, saya langsung nyerbu internet untuk sekedar cek email dan cek cek account couch surfing dan hospitality club. But you know, ternyata komputernya cuman satu! Ya udah akhirnya saya gantian sama si Nisun. Waktu Nisun lagi ngenet, saya melihat paket tour yang disediakan oleh travel agent yang ada di hotel. So, saya langsung nanya-nanya
Cu Chi Tunnel (half day)                                 $5
Cu Chi Tunnel-Cao Dai Temple (1 day)             $7
Mekong Delta (1 day)                                      $10
HCMC tour (1 day)                                          $10
Karena saya tahu dari internet kalau cu chi tunnel itu agak jauh dari HCMC, jadi sepertinya saya akan ikut paket tur saja. Terus saya juga melihat ada paket bus AC HCMC-Phnom Penh $12. Karena setelah HCMC rencana saya langsung lanjut ke Phnom Penh, saya juga nanya schedule bus ini. Ternyata bus ke Phnom Penh itu cuman ada jam 07.00, 08.00, 11.30, 15.00 dengan jarak tempuh sekitar 6 jam.
Saya inginnya sih hari ini ambil paket Cu Chi Tunnel-Cao Dai Temple, terus besok paginya city tour sendiri dan ngambil paket bus jam 3 ke Phnom Penh. But the unfortunately is the tour package for today is fully booked! Ya sudah, akhirnya saya memutuskan untuk menambah jatah menginap selama satu hari di HCMC, dan tanggal 6 pagi baru ke Phnom Penh.
And you know what? Ternyata di sekitar Bui Vien itu ada banyak travel agent, gak cuman di hotel yang saya tinggali. So, sebenarnya saya bisa aja cari paket cu chi tunnel-cao dai temple untuk hari ini di travel agent lain, malah ada beberapa travel agent yang lebih mura! Paket cu chi tunnel-cao dai temple ada yang cuman $6… huhuhu, kan lumayan pengiritan satu dolar… Tapi karena sudah terlanjur booking dan bayar di travel agent yang ada di hotel, jadi nggak mungkin kan untuk ngebatalin… oke, have fun aja deh susur kota on foot… 😛
Saya tidak menyiapkan peta HCMC dari Indonesia karena dari internet saya tahu kalau akan ada petugas yang ngasih peta HCMC secara gratis di Ben Tanh Market. Dari peta direction hotel yang saya punya dari kartu nama hotel, Ben Tanh Market itu nggak jauh dari hoteldan karena saya pede dengan mental map saya, saya yakin kalau saya bisa kesana tanpa harus tanya-tanya sama siapapun.
Saya jalan kaki dan akhirnya sampai di garden dekat Ben Than Market, tinggal nyebrang aja. Lalu lintas di HCMC ternyata sangat padat, terutama dengan sepeda motornya, bikin saya takut buat nyebrang. Saat saya akan nyebrang, tiba-tiba ada tukang becak (cyclo) nyamperin saya, dia menawarkan jasanya. Tapi langsung saya tolak.
Dia tanya, “kamu mau kemana?”
Saya bilang, “saya mau ke Ben Than Market”
Lalu dia menunjukkan kalau Ben Than Market ada di depan sana.
Saya dan Nisun sudah mau meninggalkan dia dan menyebrang jalan, tapi tiba-tiba ada satu tukang cyclo yang nyamperin kami lagi. Dia bilang kalo dia bakalan mengantar kami ke tiga tempat, Saigon River, Notre Dame, War Museum, dan dia juga bisa mengantar kami ke Hongkong Market kalau mau belanja yang murah-murah. Si Nisun yang emang niat banget mau belanja, langsung membulat matanya waktu denger tempat belanja murah. Awalnya I was really not interesting at all. Tapi dia terus bilang “two-fifty thousand dong a half hour to three places”. Terus saya mikir, 50.000VND setengah jam ke tiga tempat untuk dua orang. Berarti kan cuma Rp.12.500,- (1VND= Rp.2,- berarti 50.000VND= Rp.25.000, berarti lagi Rp.25.000 untuk berdua= Rp.12.500 per orangnya) ke tiga tempat dalam setengah jam. Nggak mau rugi dong saya, tapi saya meyakinkan lagi soal harga dengan bilang “two (sambil nunjuk ke badan saya dan badan Nisun) fifty thousand dong?”
Dia bilang “yes… I’ll take you to this place, this place and this place (sambil nunjuk brosur becak dia) and we’re a good cyclo (sambil nunjuk tanda jempol yang ada di brosur)”.
Saya masih ragu, tapi sudah mulai terpengaruh.
“I’m not bullshit. I’ve guided a lot of tourist”, dia bilang seperti itu sambil nyodorin buku (seperti agenda) yang isinya testimonial dari banyak orang yang sudah naik cyclo-nya. Ada orang Jerman, Aussie, Italy, Singapore, dan lain-lain, termasuk ada satu orang Indonesia.

saya naik cyclo

Saya jadi percaya sama dia. Soalnya dia meyakinkan banget dan bahasa Inggrisnya lumayan bagus untuk ukuran tukang becak (saya mikirnya dia itu seperti tukang becak di Jogja) dan orangnya juga nyenengin, friendly banget. Akhirnya saya percaya, apalagi setelah ingat kata sahabat saya, dia senang kalau misalnya saat traveling ada penduduk local yang ramah dan mau ngeguidein (seperti yang sudah pernah saya dan sahabat saya alami saat kami sedang traveling ke Ciwidey-Bandung, dan sekarang saya nemuin orang yang seperti itu di negeri orang).

So, saya jalan-jalan keliling HCMC dengan cyclo. Tukang cyclo ini namanya Tam. Sepanjang perjalanan Tam selalu bilang “no bullshit”, “I’m a good driver”, “happy…”, “you’re very lucky”, “no bullshit, “no bullshit”, “no bullshit” lagi…
Tempat yang pertama saya kunjungi adalah Saigon River, terus langsung ke Notre Dame Cathedral dan War Museum. Sepanjang perjalanan saya benar-benar terkagum-kagum sama HCMC. Tata kotanya Eropa banget dan masih terjaga. Nggak rugi Vietnam dijajah Perancis selama ratusan tahun! Taman kotanya, pedestrian area-nya, café-cafenya, gedung-gedungnya, Eropa banget deh! Dari War Museum Tam nggak langsung nganter saya ke Hongkong Market, dia malah ngajak saya ke apa Pagoda gitu (saya lupa nama pagodanya). Saya dan Nisun sudah mulai curiga, kok sudah lebih dari setengah jam ya? Saya mikirnya paling nanti dia juga minta nambah sedikit… Setelah dari Pagoda, dia nganter saya ke Hongkong Market. Saya mikirnya dari Hongkong Market saya tinggal bayar dan dia akan ninggalin saya disitu. Tapi ternyata nggak, dia nunggu saya. Di Hongkong Market barangnya memang murah-murah, jadi Hongkong Market itu sama seperti tanah abang kalau di Jakarta. Tapi kami nggak beli apa-apa di Hongkong Market. Dari Hongkong Market, yang seharusnya kami langsung balik ke tempat semula, tukang cyclo itu masih muter-muterin kami ke Saigon River lagi, tapi another side-nya, yang kumuh dan airnya sampai hitam karena limbah, persis sama sungai-sungai yang ada di Jakarta!
Setelah itu tiba-tiba dia berhenti di satu tempat/kedai minum gitu. Saya ngerasa aneh banget, lalu saya tanya ke si Tam “ngapain kita berhenti?”
“saya lapar seharian kerja dan ingin minum dulu”, jawab Tam.
Saya sudah maksa untuk nggak mau dan minta dianterin ke hotel saja, tapi dia bersikeras juga untuk mampir dulu sekedar minum sebentar. Akhirnya saya nurut. You know what?? Dia minum bir!! OMG, baru kali ini saya lihat tukang becak minum bir. Saya sudah parno aja disuruh ngebayarin minum dia, nggak bakalan saya bayarin! Dia nawarin saya untuk minum juga, tapi ya jelas saya tolak mentah-mentah lah, mau ibadah saya nggak diterima selama 30 hari apa? Terus selama dia minum dia nyuruh saya untuk nulis testimoni buat dia dalam bahasa Indonesia tentang service dia. Ya saya tulis aja yang baik-baik, yang friendly lah, good driver lah, ini lah, itu lah… terus dia maksa saya untuk nulis no bullshit, maksa banget! Ya sudah saya turutin aja. Terus waktu saya lihat lembar-lembar sebelumnya, ada beberapa orang yang nulis 1 hour= 500.000VND. Saya bingung dan saya sudah mulai pusing, bukannya 50.000VND ya?
Lalu akhirnya dia ngomong soal pembayaran. Dia bilang, dia sudah nganter saya selama 4 jam dari jam 8 pagi sampai jam 12 siang, tarif perjamnya 500.000VND jadi saya harus bayar 2.000.000VND per person (dia ngomong two million dong dengan entengnya, nggak ada beban, kurang ajar banget deh!)!! 4.000.000VND untuk dua orang. What?? Saya mendadak langsung pusing parah, migraine saya kumat, dan saya juga masih bingung.
Saya bilang ke dia, “bukannya tadi pagi kamu bilang 50.000VND untuk dua orang ke tiga tempat dalam setengah jam?”
“No, two fifty a half hour”
Oh my God, saya baru sadar kalau two-fifty maksud dia itu dua ratus loma puluh. Saya yang terbiasa dengan bahasa Inggris baku kalau bilang dua ratus lima puluh itu two hundred and fifty jadi nggak “ngeh” kalau two fifty itu maksudnya juga dua ratus lima puluh… Dan tadi juga bukannya sudah saya pastkan ke dia kalo 50.000VND untuk dua orang? Dan dia bilang iya. Ternyata itu cuman akal-akalan dia aja! Damn! (maaf ya, saya sebenarnya nggak pernah nulis kata-kata kasar. Jadi kalau saya sudah bilang begini berarti hal ini sudah diluar toleransi saya)
Saya bingung harus gimana, pengennya sih saya mau kabur, tapi saya nggak tahu sekarang posisi saya ada dimana… Terlebih lagi saya takut bikin masalah dengan orang lokal. Nanti kalau saya diapa-apain gimana coba?
“I’m not lied, I said two-fifty a half hour, this is the rate of cylco”, dia bilang seperti itu sambil nunjuk harga di brosur yang tadi pagi ditunjukkan pada kami. Disana memang jelas sekali tertulis 500.000NVD/hour, 250.000/half hour.
Kurang ajar banget si Tam itu!! Dia benar-benar sengaja mengelabui saya dan Nisun. Tarif cyclo yang ada di brosur itu letaknya ada di bawah. Dan waktu tadi pagi dia nunjukkin brosurnya itu sambil ditekuk, jadi tarifnya nggak kelihatan. Nah, sekarang baru dia nggak nekuk brosurnya dan kelihatan lah dengan jelas berapa tariff sebenarnya! Damn! Dia benar-benar sengaja ngakal-ngakalin kami!

Ini dia si Tam "cyclo-shit" itu!! Sayang fotonya dari belakang, jadi nggak kelihatan mukanya...

Saya bilang, “saya bukan orang kaya dan saya nggak punya uang sebanyak itu, saya nggak bisa bayar kamu sebanyak itu”
Eh, dia malah bilang, “kamu bisa bayar pake dolar kok, saya yakin kamu bawa dolar kan?”
Shit! (sekali lagi, maaf, saya benar-benar kesal) Kurang ajar banget dia!
“Ya udah, kamu nggak perlu bayar 4.000.000VND, saya kasih potongan 1.000.000VND, jadi 3.000.000VND aja untuk dua orang”
“Tapi saya tetap nggak punya uang sebanyak itu, saya cuman punya 300.000VND”
“Ya sudah, bayar pakai dolar saja, $150!”, dia mulai marah-marah (lho?).
Kami masih tawar-tawaran harga, dia marah-marah. Saya jadi tambah takut. Akhirnya saya dan Nisun bayar dia $140 ($70/orangnya). Tapi tentunya kami bayar dengan teramat sangat tidak ikhlas! Nggak bakalan barokah deh duit itu!
And you know apa lagi yang si Tam itu lakuin ke kami? Dia nggak mau nganter kami ke hotel! Shit!! Benar-benar cyclo-shit!!
Akhirnya kami harus jalan kaki sampai ke hotel setelah tanya-tanya ke beberapa orang gimana caranya untuk sampai ke daerah Bui Vien di district 1.
Untuk Anda yang akan traveling ke Vietnam, hati-hati sama cyclo. Jangan sampai mengalami hal yang sama seperti yang saya alami. Apalagi sama tukang cyclo-shit yang namanya Tam itu! Kalau mau jalan-jalan keliling kota, mending jalan kaki atau naik bus aja yang harganya cuman 3000VND sekali naik, atau bisa juga ikut paket tur yang disediain travel agent, itu lebih safe…
Semoga apa yang saya alami ini bisa jadi pembelajaran untuk orang lain dan traveling saya selanjutnya. Dan semoga uang saya itu akan diganti sama Allah lebih banyak, nggak tahu gimana caranya… hehehe, ngarep… 😀
Ho Chi Minh City, 5 Februari 2010
~Okvina Nur Alvita

Continue Reading