Ladies Traveler

Perempuan Juga Bisa Keliling Dunia
Cerita Traveling | Indonesia

KemBALI ke BALI

September 26, 2010

Awal Cerita

Oke, siapapun anda boleh mentertawakan saya. Terakhir kali saya ke Bali saat saya masih SD. Liburan bersama keluarga. Walaupun rumah saya tidak terlalu jauh dari Bali (Jember), tapi sejak SD saya tidak pernah ke Bali lagi.

Beberapa bulan yang lalu kakak saya sudah ribut soal tiket pesawat untuk mudik. Dia takut kalau beli tiket mepet-mepet dengan jadwal kepulangannya ke rumah, tiket pesawat yang dia dapatkan akan sangat mahal. Akhirnya dia sudah beli tiket pesawat sejak 3 bulan sebelum lebaran dengan rute penerbangan Jakarta-Surabaya, Denpasar-Jakarta. Pulangnya dia mengambil rute penerbangan Denpasar-Jakarta karena ingin jalan-jalan dulu kesana, mumpung cuti yang diambilnya lumayan panjang.

Anyway, saya jadi ingin juga jalan-jalan kesana. Terlebih lagi, saya ingin jalan-jalan bersama kakak saya, melakukan “ritual-ritual” yang dulu seringkali kami lakukan kalau kami jalan berdua. Ditambah lagi, ada satu pekerjaan yang harus saya selesaikan di Bali, jadilah saya memutuskan untuk ke Bali juga! Horrayy… Akhirnya saya kemBali ke Bali! 😀

Tapi, dasar otak backpacker yang nggak mau rugi kalau melakukan suatu perjalanan, saya juga memutuskan untuk ke Lombok dan Gili Trawangan dalam sesi backpacking kali ini. Cerita untuk Lombok dan Gili Trawangan di postingan berikutnya ya… jadi mohon bersabar… 🙂

Menyusun Itinerary

Ketika saya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke suatu tempat, hal pertama yang akan saya lakukan adalah scheduling (menyusun rencana perjalanan/itinerary). Saya langsung cek liburan saya. Hmmm…ternyata hanya dua minggu karena saya harus kembali ke kampus untuk mendampingi dosen saya lagi dalam kegiatan perkuliahan. Artinya, saya tidak memiliki banyak waktu untuk backpacking Bali-Lombok-Gili Trawangan. Artinya lagi, saya tidak bisa berlama-lama di rumah setelah lebaran.

Hwaaa… sungguh pilihan yang sulit… di satu sisi saya masih ingin berlama-lama di rumah, menikmati suasana lebaran bersama keluarga, dan di sisi yang lain, saya nggak mau rugi kalau lagi backpackeran… Solusi terbaiknya (menurut saya), membagi liburan lebaran bersama keluarga dan liburan sendiri ala backpacker sama rata. Seminggu di rumah dan seminggu nge-“bolang”. Hehehe… 😀

Saya berangkat ke Bali tanggal 13 September 2010, di Bali sampai tanggal 16 September 2010. Tanggal 17 September 2010 berangkat ke Lombok dan langsung ke Gili Trawangan. Di Gili Trawangan sampai tanggal 19 September 2010 dan pada tanggal ini saya balik ke Senggigi. Tanggal 20 September 2010 penerbangan Mataram-Denpasar plus Denpasar-Jakarta. Perfecto! 🙂

Host plus Budgeting

Setelah itinerary beres, yang saya lakukan selanjutnya… of course cari host sambil menyusun budgeting perjalanan. Seperti biasa saya langsung browsing sana-sini untuk mencari referensi perjalanan termurah untuk Bali-Lombok-Gili Trawangan. Dan tentu saja cari host di www.couchsurfing.org.

Cari host di Bali tidak sesulit cari host untuk di Lombok. Banyak sekali member couchsurfing di Bali. Tapi saya tentu saja tidak asal pilih. Saya request hanya ke member yang trustworthy. Dan benar saja, salah satu member di Bali yang trustworthy itu tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk meng-approve request saya. Alhamdulillah di Bali saya sudah “aman”… 🙂

This is All About Trust

Budaya backpacker-an mungkin belum terlalu “membumi” di Indonesia. Terutama backpacker yang rela numpang sana-sini untuk menghemat biaya akomodasi seperti saya. Apalagi nginepnya ditempat orang yang baru dikenal melalui situs jejaring backpacker.

Semua itu bisa terjadi hanya karena rasa saling percaya saja. Dan sifat inilah yang masih belum banyak dimiliki oleh para backpacker pemula. Mungkin saya juga termasuk salah satu di dalamnya. Namun saya bukan orang yang parno-an abis! Saya akan sangat percaya pada orang yang baru dikenal asalkan “asal-usulnya” jelas. Maksud saya, walaupun saya baru kenal, saya sudah tahu sedikit tentang tentang orang itu dari referensi (testimonial) yang diberikan orang lain. Jadi nggak murni “stranger”.

Anyway, host saya selama di Bali namanya Marvin Sitorus. Saya percaya sama dia karena membaca banyak referensi untuknya dari beberapa traveler dari berbagai negara. Saya menghubunginya secara personal melalui sms saat dalam perjalanan ke Denpasar dari Jember. Dia membalas sms saya dan bilang kalau dia nggak bisa jemput, tapi nanti saya akan dijemput sama karyawannya saat sudah sampai di Denpasar. Wew, baik banget kan?

Saya sampai di Denpasar, di terminal Ubung tepatnya. Sama seperti yang saya rasakan saat baru “mendarat” di tempat baru, saya selalu merasa “lost in somewhere” dan saya juga merasa “in the middle of nowhere”. Biasanya yang saya lakukan setelahnya adalah, menepi, duduk, celingak-celinguk sana-sini, memperhatikan keadaan sekitar, cek pos polisi (atau pegawai keamanan) terdekat, terus baru mengeluarkan handphone saya untuk menghubungi orang yang akan saya tuju atau orang yang akan menjemput saya.

Saya mencoba untuk menelepon Ina, karyawan Marvin yang akan menjemput saya. Jawaban di seberang saya bunyinya begini “nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi”. Beberapa menit kemudian saya menelepon lagi, jawaban yang saya terima tetap sama. Saya ulangi sampai beberapa kali, jawabannya tetap sama juga.

Dag-dig-dug, saya mulai deg-degan… Lalu saya menghubungi Marvin, bilang kalau nomor Ina tidak bisa dihubungi. Marvin menyuruh saya menunggu di pos polisi di depan terminal Ubung. Saya langsung kesana. Beberapa saat kemudian Marvin menghubungi saya lagi, dia bilang kalau saya disuruh ke hotel Mahajaya, menunggu jemputan taksi dari sana. Saya nurut saja, saya jalan ke hotel mahajaya, menunggu taksi sambil meneguhkan hati dengan kalimat “this is all about trust”, walaupun jujur kepercayaan saya pada Marvin saat itu mulai berkurang karena saya yang kesannya “dilempar kesana-kesini”. Maaf ya Vin, gw agak nggak percaya sama lo saat itu… 🙂

You know, Ina akhirnya menghubungi saya saat taksinya datang! Dia bilang kalau sudah di depan pos polisi Ubung! Ternyata dia tadi telat banget menjemput saya dan handphone-nya nggak bisa dihubungi karena dia nyasar karena nggak tahu jalan ke terminal Ubung (maklum, Ina baru 2 bulan di Bali, jadi masih belum terlalu hafal jalan disana). Dan saya pun dibawa Ina ke kantor Marvin di Denpasar.

Hal Seperti Ini yang Nggak Bakalan Kalian Dapatkan Para “Suitcase-er”! 😀

Mengapa saya kecanduan jalan-jalan ala backpacker? Karena dengan jalan-jalan ala backpacker, saya tidak hanya mengunjungi tempat wisata saja. Tapi saya juga belajar tentang culture setempat, ngobrol dan bertukar pikiran dengan penduduk asli daerah yang saya kunjungi. Hal inilah yang membuat saya menjadi lebih open minded. Dan itulah gunanya host… selain berguna untuk memangkas pengeluaran untuk akomodasi, host juga sangat membantu untuk mengeksplore daerah yang kita kunjungi dan tentu saja kita bisa belajar tentang daerah setempat dari host kita.

Beberapa kali saya backpacker-an saya selalu merasakan pengalaman itu. Dan inilah salah satu cara saya “membaca” dunia. Saat di Bali, Marvin (host saya) yang bukan orang asli Bali mengenalkan saya pada Dewaji (saya memanggilnya pak Dewe), orang asli Bali. Dari pak Dewe saya jadi tahu kebiasaan orang Bali, apa yang “do or don’t” di Bali, sampai pada upacara adat di Bali dan letak pura pada umumnya saya jadi tahu. Saya banyak mengeksplore Bali dari pak Dewe. Hmmm, satu halaman tentang dunia sudah saya “baca”… 🙂

Tanah Lot

Tanah Lot

Tempat pertama yang saya kunjungi di Bali adalah Tanah Lot. Saya kesana sore hari dengan Marvin, Pak Dewe dan Ina. Karena lagi liburan lebaran, jadi Tanah Lot ramai sekali saat itu dan (menurut saya) mendadak jadi lautan manusia! Saya tidak bisa menikmati suasananya dengan nyaman… 🙁

Saya berharap bisa menikmati sunset di tanah lot, tapi sayang saat itu cuaca tidak terlalu cerah. Banyak sekali awan. Jadi proses matahari terbenam di ufuk barat tidak terlihat dengan sempurna. Sayang sekali… 🙁

Kuta-Legian

Malam pertama di Bali, Marvin mengajak saya untuk keliling Kuta-Legian bersama pak Dewe dan Anov (Marianov, adiknya Marvin). Saya rasa daerah ini adalah salah satu daerah di dunia yang tidak pernah tidur. Sampai jam 2 malam masih banyak aktivitas yang dilakukan oleh para “penghuni” Kuta-Legian.

Mau tahu aktivitas yang saya lakukan sampai selarut itu disana? Jangan mikir yang aneh-aneh dulu! Saya hanya menemani Marvin cs. makan di salah satu restoran fastfood yang ada disana sambil ngobrol ini-itu, mengenal diri satu sama lain. Setelah itu kami memperhatikan dan ngegodain bule-bule yang lagi bersliweran disana. Nasib jalan sama cowok, saya dianggap cowok juga! 😀 Tapi bagi saya, hal itu cukup menyenangkan. Saya jadi tahu “detak jantung” Bali yang sebenarnya.

Malam kedua di Bali saya masih nggak kapok untuk menghabiskan malam di sekitar Kuta-Legian. Tapi personil malam itu Marvin-pak Dewe-Ina dan saya. Kami menikmati ice cream sambil duduk-duduk di pantai Kuta sambil ngobrol ngalor-ngidul. Selama disana saya juga memperhatikan perilaku bule-bule. Sama seperti kami, mereka juga membentuk satu kelompok kecil, ngobrol, tertawa lepas, sampai kadang ada yg setengah berteriak. Kami dan mereka hanya berusaha untuk menikmati suasana dan menghabiskan waktu yang berkualitas dengan cara kami. Hmmm… inilah salah satu cara para traveler menikmati hidup.

Ternyata memang tidak ada kata bosan untuk Kuta. Hari keempat di Bali, saya sudah meniatkan diri untuk menikmati suasana sore hari di pantai Kuta. Tidur-tiduran di atas pasir sambil menunggu sunset. Saya melakukan “ritual” ini dengan kakak saya tersayang, Mbak Ninda.

Alhamdulillah saya bisa menikmati sore di Kuta berdua saja dengan mbak Ninda (suaminya asik main di laut). Seperti turis yang lain kami tiduran di atas pasir yang sudah terlebih dahulu dialasi dengan kain Bali. Saya dan mbak Ninda memperhatikan kelakuan bule-bule dan juga wisatawan domestik yang ada disana dan sesekali berkomentar tentang mereka. Saya dan mbak Ninda juga ngerumpiin tentang…eng ing eng… apa coba…? Apa lagi yang diobrolin sama para cewek kalo lagi ngumpul? Ya pasti tentang cowok lah… hehehe… 😀 Hmmm… hal inilah yang selalu saya rindukan kalau lagi berdua saja sama mbak Ninda… Wkwkwk… 😀

Tapi sayang, seperti yang saya alami saat di tanah lot, saya tidak bisa menikmati sunset dengan sempurna di Kuta karena cuaca yang kurang cerah dan banyak sekali awan yang menutupi matahari… Yaahhh…gagal lagi deh ngeliat sunset di Bali.

Melatih Mental Map

Saya sangat sadar kalau mental map saya lumayan bagus dan inilah salah satu alasan mengapa saya berani jalan-jalan ala backpacker sendirian. Bermodalkan peta Kuta dan sekitarnya yang saya peroleh dari brosur pariwisata yang banyak bertebaran di daerah Poppies (backpacker area di Bali), saya memutuskan untuk jalan kaki menyusuri areal Kuta-Kuta Square-Poppies 1&2-Legian.

Dari jalan-jalan di daerah Poppies 2 saya dapat Lonely Planet Indonesia edisi 2010 seharga Rp.130.000 saja! Padahal kalau di toko buku harganya di atas Rp.350.000. Dari jalan kaki “blusukan” ke gang-gang di kecil di daerah Kuta, Legian, Poppies saya bisa menikmati 1 jam Balinese Massage seharga Rp.40.000 saja! Hehehe… 😀 Jadi tahu kan kenapa saya sangat suka jalan kaki? Selain bisa lebih menikmati suasana, kita juga bisa sekaligus olahraga dan yang pasti bisa membandingkan harga, jadi risiko “nyesek” karena membeli barang dengan harga yang terlalu mahal dapat diminimalisir. 🙂

Padang-Padang Beach-Uluwatu

Padang-Padang Beach

Hari ketiga di Bali, Marvin mengajak saya dan Mbak Ninda jalan-jalan ke Padang-padang beach dan Uluwatu. Ada yang tahu padang-padang beach di Bali? Oke, bagi yang belum tahu akan saya beri tahu ya… pantai ini merupakan tempat shooting Julia Roberts untuk film terbarunya Eat, Pray, Love.

Padang-padang beach terletak di balik beberapa batu yang besar banget. Jadi pantainya nggak kelihatan kalau dari jalan raya. Kalau mau kesana, kita harus melewati sela-sela batu-batu itu. Tapi dijamin, pemandangan yang akan kita lihat setelahnya sangat indah. White sands, turquoise sea, clean water, smooth wave, adalah serangkaian kata yang menggambarkan pantai ini. Pantai ini benar-benar surga bagi penikmat pantai plus pecinta renang seperti saya. Tapi sayangnya saat itu saya tidak membawa baju renang muslimah saya. Selain itu waktu yang dimiliki untuk main di padang-padang beach tidak terlalu lama. 🙁

Setelah puas menikmati padang-padang beach, Marvin membawa kami ke Uluwatu. Uluwatu itu ngarai yang dihadapannya langsung laut lepas samudra hindia. One of the best place in Bali. Saya rasa semua orang yang pernah ke Bali pasti tahu uluwatu. Tapi tahukah anda apa yang saya alami di uluwatu?

Uluwatu

Hampir dua kali barang saya “dicopet” sama monyet! Bête deh! Monyet-monyet di Uluwatu memang dididik untuk mencopet oleh pawangnya. Jadi gini, kalau salah satu barang kita diambil sama monyet, si pawang akan langsung menghampiri monyet, dia mengambil lagi barang kita tapi tentu saja dengan “proses barter” dulu dengan si monyet. Nah, kita harus membayar barang yang dibarter itu plus ongkos capek si pawangnya.

Waktu itu bodohnya saya, saya melepas sandal saya karena ingin duduk-duduk di pagar tebing uluwatu. Tiba-tiba satu monyet berlari menghampiri saya, saya sudah parno tas saya yang akan diambilnya (saya lupa kalau salah satu sandal saya, saya lepas), tapi ternyata dengan sigapnya monyet itu mengambil sandal saya… Huaaa… saya dicopet monyeeeetttt!!!

Yang kedua kalinya, saat saya berjalan mau kembali ke mobil. Tiba-tiba ada satu monyet yang berlari ke arah saya, dia mengincar tas kecil saya. Saya langsung panik, menjerit dan berlindung di belakang Marvin. Monyetnya masih berusaha mengambil tas saya, tapi Marvin menghalangi, monyetnya makin galak, Marvin lebih galak lagi, dan akhirnya monyetnya menyerah, dia pergi tanpa berhasil mencopet tas saya. Alhamdulillah… 🙂

Oh iya, just for your information, selain monyet, di pura yang ada di Uluwatu kita bisa menikmati tari kecak dengan membayar Rp.75.000.

Ubud

Malam terakhir di Bali, kakak saya memilih untuk dinner berdua dengan suaminya di daerah Jimbaran. Sedangkan saya? Makan malam di daerah Ubud! Hehehe… tetep ya nggak mau kalah! 😀

Marvin memang sudah janji sebelumnya akan mengajak saya ke Ubud. Tapi dia hanya punya waktu di malam terakhir saya di Bali. Marvin menepati janjinya, malam sebelum saya meninggalkan Bali untuk melanjutkan perjalanan ke Lombok, dia mengajak saya makan malam di Ubud.

Ubud, terletak di daerah dataran tinggi yang ada di Bali. Menurut Marvin, turis Eropa yang suka menginap di daerah Ubud. Ubud memang jauh lebih tenang daripada Denpasar apalagi Kuta. Di Ubud juga udaranya dingin dan jauh lebih fresh daripada Kuta. Ubud sangat cocok bagi traveler yang menginginkan liburan yang penuh ketenangan. 🙂

Thank’s a lot My Dear Friends

I just wanna say thank’s to all my dear friends in Bali:

  1. Marvin Sitorus, yang sudah mengijinkan saya “menjajah” tempat tinggalnya, ngajak saya keliling ke beberapa tempat di Bali, nraktir saya makan selama di Bali, ngajarin saya bagaimana menjalankan bisnis travel dan sedikit tentang internet marketing. Marvin juga dengan baik hatinya mau mendengarkan keluh kesah saya. I know it’s not enough, but once more time I wanna say a bunch of thank’s special for you Marvin… 🙂
  2. Ina Stya, yang sudah dengan sabarnya mengantar-jemput saya kemana-mana saat saya di Bali. Makasih banyak Ina sayang… 🙂
  3. Dewaji -pak Dewe-, terima kasih banyak untuk obrolan tentang budaya Bali dan obrolan tentang…(banyak hal). Obrolan kita membuat saya lebih open minded (lagi).
  4. Marianov Sitorus, terima kasih banyak pak pendeta. Anda menyadarkan saya kalau saya harus lebih banyak lagi belajar tentang agama saya dan memahami isi Alquran. Allah “menampar” saya dengan mempertemukan Anda dengan saya.

Traveling is not only just take around in some places, but also make a friendship with people around us. For me, this is the heart of traveling. 🙂

Wanna feel what I feel when I was traveling? Don’t think too much, just take your backpack and go to the place you really want to go, because “a thousand mile journey begins with the first step” –Lao Tzu–

Bogor, 26 September 2010 13:44 WIB

~Okvina Nur Alvita

  1. Well, dek vina, backpacking memang menyegarkan jiwa, tapi tentu ada batasan2, apalagi dikau muslimah kan, apa Ada, muslimah Yg baik tinggal bareng non muhrim, baru kenal, sampe tengah malam, diskusi sama pendeta… Gw rasa itu udah terlalu jauuuh… Sejauh kaki says melangkah ke eropa, saya rasa itu terlalu jauh…

    1. Mas Mierza, sepertinya mas banyak missingnya deh baca artikel ini.
      Coba baca ulang dan coba pahami apa yang saya tuliskan dengan benar.
      Ngobrol sama pendeta bukan membuat saya belajar agama ke dia, tapi MENYADARKAN saya kalau saya harus banyak lagi belajar tentang ISLAM.

  2. Heythere, nama saya Fenty. Saya suka bgt jalan2 tapi now sy ga punya temen buat jalan2 ni tampaknya kamu sudah sukses bgt yah jalan2 dengan limited budget 🙂 saya belum baca semua tulisan kamu sih tapi kayanya seru juga kalo jd travelling buddynya kamu…well belum tau mau main kemana sih tp kalo ada ide dan ada rencana main plzzzzz ajak2 yah thxxxxxxxxxxxxxxxxxx

  3. Hey there, nama saya Fenty. Wah tampaknya kamu dah sukses ni jd backpaker. Sy juga suka jalan2 tp sayangnya udah ga ada lg temen yg bisa jalan2 ni..smua dah nikah alias susah diajak jalan2 keluar kota or negara. So kalo tertarik punya travelling buddy lu ..kontak2 yah mungkin ada ide mau main kemana gitu…ok dehh just email me kalo tertarik yahhhh

  4. salam sesama orang jember dan Islam.

    aq merasa aneh aja kok ya ada yang malah ngritik marvin and penulis blog? kayaknya salah tempat tuh…keliatan banget tidak memiliki pikiran terbuka sehingga artikel kecil ini dibawa ke masalah SARA.

    la gimana mau maju ummat Islam…sedikit2 gampang menjudge orang….weleh2 yang ada cuma ngajak tempur tu 2 orang 😀

  5. @nowhere :lo gak tau masalahnya gak usah ikutan komen!

    @vina : klo komen gw gak lo approve berarti cukup tau gw lo emg PALSU abis. Ngapain lo msh pake foto berjilbab? MUNAFIK LO! TOPEENG!!!

    1. @Gebleg: siapapun lo, tapi bagi gw lo hanya seorang “bencong” yang sok suci dan nggak punya cukup keberanian untuk nunjukin siapa diri lo sebenarnya!! Sembunyi aja di balik ketek nyokap lo!!

      1. Ya ampuunnn, karena emosi saya jadi lupa… ngapain juga ya ngeladenin orang gebleg… jadinya ikutan nggak waras deh… wkwkwk… 😀

  6. Halah, kayak lu gak sembunyi dibawah ketek nama admin aja lu. Siapa nama lu dong :p

    keliatan yak, Siapa yg sok suci, siapa yg kagak. gw pan gebleg, bukan suci :p

    yg sok suci tuh org yg srg bawa2 agama tp topeng, munafik semua, ngibul semua. Kyk pejabat aja lu, jaim. Gak perlu tkt.
    klo emg lu gak sok suci, napa msh pake foto lu kerudungan. Pan lu udah kagak pake.. Atau knp lu apus facebook lu.. Atau knp lu mesti kabur ke Bali?

    Tandanya lu msh gak bs nerima diri lu sndr yg udah berubah kan. Lu berasumsi org lain gak bs nerima lu, pdhl lu blm nyoba ngadepinnya.

    Lu sadarkan Vin, lu lari, kabur dr kenyataan. Bukan karena org lain yg gak bs nerima lu, tp krn diri lu sndr yg gak bs nerima keadaan lu.

    Udah, lepas aja topeng lu. Be a real u, buka diri lu lagi..
    Klo lu gak approve, berarti lu emg cemen, kabur dr kenyataan, dan mkr bhw tmn2 lu yg jahat gak bs nrm keadaan lu.

    Lu tau yg jahat! Ninggalin mereka tnp penjelasan hanya krn lu takut mereka gak bs nerima.
    Mereka kangen, tp gak tau mesti ngapain. Lo gak usah berasumsi aneh2.

    Gw doang yg udah nganggep Okvina Nur Alvita udah gak ada. Dia berubah jd Vina Jegeg yg gw gak kenal.

Leave a Reply to Maya Widiawati Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *